Pengukuran desa bertujuan menghasilkan data obyektif kinerja pembangunan desa hingga efektifitas kebijakan. Perbedaan perkembangan desa berpengaruh pada saran intervensi yang akan dilakukan bagi setiap desa.
Desa kini berpeluang memainkan peran besar dalam memakmurkan masyarakat. Dengan berlakunya Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, desa berkesempatan menata kehidupan sosial-ekonomi dan lingkungan. Pembaharuan pembangunan desa, sebagaimana amanat undang-undang, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kualitas manusia, dan menanggulangi kemiskinan.
Tiga tujuan besar itu menjadi agenda pembangunan desa. Rumusannya diturunkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan kegiatan tahunan (Rencana Kerja Pembangunan Desa) beserta anggarannya. Proses perencanaan dilakukan dengan cara melibatkan warga desa, termasuk dalam menentukan alokasi dana dalam Rencana Anggaran Pembangunan Desa (RAPDes).
Dinamika pembangunan desa sangat beragam, tergantung situasi dan kondisi desa, kesiapan dan kapasitas kelembagaan, potensi sumber daya ekonomi, dan sumber daya manusia. Perbedaan ini membuat kemajuan antar desa tidak sama. Ada desa dengan kondisi sangat tertinggal dan tertinggal, sementara di sisi lain ada sejumlah desa berstatus desa maju dan mandiri. Pembangunan desa disebut berhasil jika sebuah desa mampu mengubah statusnya menjadi lebih baik.
Pengukuran perkembangan desa itu menjadi isu menarik. Pengukuran bertujuan menghasilkan data obyektif dari kinerja pembangunan desa hingga efektifitas kebijakan yang perlu diketahui oleh para pelaku pembangunan. Selain itu perbedaan perkembangan desa akan berpengaruh pada saran intervensi yang akan dilakukan bagi setiap desa.
Meskipun kebijakan pembangunan desa telah dimulai sejak 1957 melalui Rencana Pembangunan, namun upaya “memetakan” desa baru dilakukan pada 1974 oleh Departemen Dalam Negeri. Pada masa Orde Baru, pemerintah mengembangkan program penanggulangan kemiskinan yang dikenal dengan Inpres Desa Tertinggal (IDT). Bappenas bersama BPS menyusun status desa dengan kategori desa tertinggal dan desa tidak tertinggal, kemudian dikenal dengan desa IDT.
Pasca reformasi, sejalan dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014, setiap kementerian/lembaga memiliki instrumen mengukur status perkembangan desa. Di bawah ini disajikan Tabel 1 yang menjelaskan instrumen pengukuran itu.